Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Terhadap Kesadaran Berdemokrasi (Studi Pada Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Penelitian
Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem ketatanegaraan Indonesia[1]. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian jabatan Kepala Daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Frasa “dipilih secara demokratis” bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat ataupun oleh DPRD seperti yang pada umumnya pernah diperaktekkan di daerah-daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku[2].
Ketentuan ini memberi peluang untuk diimpretasikan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara demokratis[3]. Sekiranya klausal ‘dipilih secara demokratis’ diparalelkan dengan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di tingkat nasional, maka di daerah pun dapat dilakukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan adanya pemilihan kepala daerah denan sistem perwakilan menjadi kehilangan relevansinya.

 
Di samping adanya perubahan di tingkat UUD 1945, alas an yuridis lain yang mengharuskan kepala daerah dipilih secara langsung adalah karena memilih kepala daerah tidak lagi menjadi tugas dan wewenagn DPRD. Hilangnya tugas paling strategis DPRD ini dapat dilihat dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 78 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 dijelaskan bahwa DPRD hanya diberi peran minimal yaitu sebatas mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah[4].
Pasca amandemen kedua UUD 1945 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pemerintah bersama DPR membahas dan mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah[5].
Salah satu tujuan dari pementukan UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat diaca pada bagian konsideren menimbang (a), yang berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatua Republik Indonesia”[6].

Sebagai tindaklanjut dari pemberlakuan UU Nomor 32 Tahun 2004 diselenggarakan Pemilukada langsung. Pemilukada langsung pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 di Kutai Kertanegara. Pada tahun 2005 telah berlangsung Pilkada di 207 Kabupaten/Kota dan 7 (tujuh) propinsi. Tahun 2006 terlaksana Pilkada di 70 Kabupaten/Kota dan 7 (tujuh) propinsi. Tahun 2007 berlangsung Pilkada di 35 Kabupaten/Kota dan 6 (enam) propinsi. Tahun 2008 dilaksanakan 160 Pilkada di 13 propinsi, 147 Kabupaten/Kota[7].
Pemilukada langsung sesungguhnya sudah diintrodusir dalam produk hokum yang mangatur pemerintahan di daerah jauh sebelum pementukan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 22 Tahun 2007. Dalam Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ditegaskan, Kepala Daerah yang karena jabatannya adalah Ketua dan Anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD) yang berfungsi menjalankan roda pemerintahan dipilih menurut UU khusus yang akan ditetapkan kemudian. Pada bagian Penjelasan dikatakan, ketentuan demikian karena kepala daerah adalah orang yang dekat dan dikenal baik oleh rakyat di daerahnya, oleh karena itu harus dipilh langsung oleh rakyat. Karena proses pembentukan UU Nomor 1 Tahun 1957 tersebut lama, untuk sementara Kepala Daerah dipilih oleh DPRD yang bersangkutan, yang kemudian disahkan oleh Presiden/Menteri Dalam Negeri. Sampai UU Nomor 1 Tahun 1957 dicabut, UU tentang Pemilihan Kepala Daerah langsung tidak lahir[8].
Menarik bila kit abaca pidato Presiden RI Soesilo Bambang Yudoyono tentang kebijakan pembangunan daerah di depan Sidang Paripurna DPD RI 22 Agustus 2008, sebagai berikut[9]:
“Ada satu perkembangan politik yang fundamental yang terjadi di Negara kita dalam beberapa tahun terakhir, dan perkembangan ini sering kurang disadari olek kita semua. Yang saya maksudkan di sini adalah transformasi demokrasi kita menjadi demokrasi lokal dengan akar yang kuat di kalangan masyarakat. Sejak 1 Juni 2005 sampai dengan 0 Agustus 2008, kita telah melaksanakan 414 pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik pemilihan Gubernur, maupun Bupati/Walikota. Berkenaan dengan itu, agar ke depan demokrasi kita makin berkualitan, kita harus terus mengembangkan kehidupan demokrasi yang beretika dan taat pada aturan main”.

Dengan perubahan itu, pada dasarnya Pilkada secara langsung merupakan kelanjutan dari institutional arrangement menuju demokrasi, khususnya bagi pningkatan demokrasi di daerah. Bagaimanapun, pemimpin yang dipilih melalui proses pemilihan langsung akan mendapat mandate dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan tokoh yang dipilih. Karenanya kemauan orang-orang yang memilih (volonte generale) akan menjadi pegangan bagi pemimpin dalam melaksanakan kekuasaannya[10].
Menurut I Gde Pantja Astawa, otonomi daerah terkait erat dengan demokrasi. Konskekuensinya, harus ada tata cara dan mekanisme pengisian jabatan-jabatan secara demokratis, terutama pada jabatan-jabatan politik[11].
Pelaksanaan demokrasi dalam sistem pemerintahan daerah memang sudah menjadi kebutuhan di hamper semua negara pada masa sekarang. Menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional. Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara ootmatis bias diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas demokrasi d tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah Negara di berbagai belahan dunia,  Smith mengemukakan 4 (empat) alas an untuk ini[12].
Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga Negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Kedua, pemerintah daerah sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti-demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Di dalam transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat[13].
Ketiga, demokratisasi di daerah dianggap mampu menyguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relative terbatas dan masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan dengan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakna adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam demokrasi[14].
Munculnya gagasan Pilkada langsung pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert A. Dahl, di samping untuk menghindari munculnya tirani, demokrasi juga bermaksud untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di antaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral otonomi, terdapatnya kesempatan untuk menentukan posisi dari diri individu, dan adanya kesejahteraan. Di dalam konteks demikian, munculnya demokratisasi di daerah melalui Pilkada langsung diharapkan tidak hanya memiliki muara terdapatnya kebebasan rakyat di daerah untuk menentukan pemimpinnya sendiri. Proses itu diharapkan bias melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah[15].
Setelah lima tahun lebih sejak Pilkada langsung digelar 1 Juni 2005, hubungan kepala daerah dan DPRD mengalami perubahan yang amat mendasar. Baik dalam konteks mekanisme kawal dan imbang (check and balances) dalam sistem pemerintahan daerah, maupun dalam konteks proses legislasi di daerah. Di samping itu, proses pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepala daerah terhadap masyarakat serta factor partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan kebijakan di daerah, merupakan bentuk-bentuk implikasi dari pemilihan kepala daerah langsung terhadap pertumbuhan demokrasi dan jalannya pemerintahan di daerah.
Dari Pemilukada yang telah usai, harapan itu tampaknya belum terwujud. Pemilukada masih diwarnai dengan munculnya pejabat-pejabat lama. Pemilukada tidak efektif menjadi sarana pergantian kekuasaan[16]. Dalam konteks ini, DPD RI dalam evaluasi dan pengawasannya terhadap proses Pilkada langsug di seluruh daerah sampai dengan tahun 2008 merekomendasikan 3 (tiga) persoalan. Dua di antaranya adalah sebagai berikut[17]:
1.   Masalah esensi Pilkada, UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menjadi dasar hokum Pilkada perlu diubah kea rah suatu Undang-undang yang tidak hanya menjamin berlangsungnya desentralisasi pemerintahan, melainkan juga meningkatkan kualitas demokrasi lokal.
2.   Masalah regulasi, seyogyanya dilakukan pemisahan antara materi kebijakan pemerintahan daerah di satu pihak, dan materi kebijakan tentang Pilkada di pihak lain.

            Perkembangan selanjutnya, Ketua DPD RI 2004-2009 Ginanjar Kartasasmita pada pidato pembukaan Sidang Paripurna Khusus DPD RI dengan agenda pidato kenegaraan Presiden RI di Gedung DPR/DPD/MPR RI Jakarta tanggal 19 Agustus 2009 menyatakan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menggabungkan hari pemilihan kepala daerah, sehingga dalam 5 (lima) tahun hanya ada 3 (tiga) kali Pemiilihan Umum, yaitu Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pilkada langsung. Lebih jauh Ginanjar Kartasasmita menjelaskan bahwa[18]:
“Banyaknya daerah otonomi maka pemilihan kepala daerah menjadi sangat sering dilakukan. Akibatnya, selain menelan banyak biaya dan energi masyarakat juga menyebabkan kejenuhan terhadap proses politik”.

            Pilkada langsung memang terlalu memakan biaya yang sangat besar karena paling tidak banyak anggaran daerah (APBD) yang akan dikonsentrasikan pada proses Pilkada langsung. Konsentrasi dana yang pertama untuk pemilihan Gubernur di tingkat propinsi. Kedua, konsentrasi anggaran pada tingkat pemilihan Bupati/Walikota. Di samping itu, munculnya persaingan baru antara calon independen dan kandidat yang diusung partai politik (kader partai ataupun non partai)[19].
Berdasarkan uraian di atas, dan untuk memberikan sumbangan pemikiran guna Pemilukada di masa mendatang, diperlukan adanya kajian tentang “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah Terhadap Kesadaran Berdemokrasi (Studi Pada Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat”.

B.     Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi perumusan
masalahan dalam skripsi ini adalah:
1.   Bagaimana pengaturan Pemilihan Umum Kepala Daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004?
2.   Bagaimana pelaksanaan serta apa saja hambatan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat?
3.   Bagaimana implikasi Pemilihan Umum Kepala Daerah tehadap kesadaran berdemokrasi di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat?

C.    Maksud dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
1.   Untuk mengetahui pengaturan Pemilihan Umum Kepala Daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004;
2.   Untuk mengetahui pelaksanaan serta hambatan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat;
3.   Untuk meneliti, mempelajari dan akhirnya mengetahui implikasi Pemilihan Umum Kepala Daerah tehadap kesadaran berdemokrasi di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat.

D.  Kegunaan Penelitian
1.   Secara Teoritis
a)      Sebagai salah satu syarat untuk menyelesikan studi pada jenjang pendidikan Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Ekasakti Padang serta memperoleh gelar Sarjana Hukum;
b)      Untuk meningkatkan pemahaman dan pengembangan ilmu hukum terutama tentang proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah.

2.   Secara praktis,
a)      Untuk menambah pengetahuan penulis terhadap pelaksanan Pemilihan Umum Kepala Daerah terhadap kesadaran berdemokrasi;
b)      Bermanfaat bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, KPU/KPUD dalam proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah.
c)      Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan mengenai proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah, khususnya mahasiswa agar memahami dan dapat menambah wawasan pengetahuan terutama mengenai proses pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah terhadap kesadaran berdemokrasi.


      [1] I Gde Pantja Astawa, Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Pascasarjana, Unpad, Bandung, 2000, hlm. 5
      [2] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2002, hlm. 22
      [3] Lihat UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
      [4] Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
      [5] UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
      [6] Ada perbedaan model pemerintahan daerah menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 di masa Orde Baru dengan UU Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di era reformasi.
     [7] Hingga tahun 2008, seluruh daerah otonom yang ada, yaitu hamper 450 kabupaten/kota dan 32 propinsi (di luar Daerah Istimewa Yogyakarta), telah melaksanakan Pilkada langsung.
     [8] UU Nomor 1 Tahun 1957 lahir sebagai konsekuensi sistem pemerintahan parlementer saat itu, tepatnya pada masa Kabinet Hatta III, Susanto, Halim, Nasir, Sukiman, Wilopo, Ali I dan II, Burhanuddin Harahap, dan Juanda.
     [9] Sekretariat Negara RI, pidato Presiden Soesilo Bambang Yudoyono di depan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 22 Agustus 2008 tentang Pembangunan Daerah, 2008, hlm. 10
    [10] Saldi Isra, Hubungan Eksekutif-Legislatif Pasca Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Langsung, Pidato Ilmiah Disampaikan pada Dies Natalis ke-49 Universitas Andalas Padang, Padang, 13 September 2005.
    [11] Loc cit, I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 21
     [12] B.C. Smith, Decentralization, The Territorial of the State, George Allen and Unwin, London, 1985, hlm. 19
    [13] Ibid.
     [14] Ibid.
     [15] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, Terjemahan oleh Sahat Simamora, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hlm. 45
     [16] Data Pilkada selama 1 (satu) tahun (Juni 2005-Mei 2006) menunjukkan bagaimana Pilkada didominasi oleh pejebat lama, elit birokrat dan pengusaha. Selama 1 (satu) tahun Pilkada tersebut, telah berlangsung 247 pemilihan.
     [17] Sekretariat Jenderal DPD RI, Hasil-Hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional DPD RI, Buku I, DPD RI, Jakarta, 2008, hlm. 44
     [18] Dipetik dari Harian Pikiran Rakyat, Edisi 20 Agustus 2009.
     [19] Leo Agustino, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2009, hlm. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar