BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik tanah di Sumatera Barat, umumnya adalah konflik tanah ulayat, baik antara sesama komunitas masyarakat adat (konflik internal-horizontal) maupun antara masyarakat adat dengan pihak ketiga (konflik eksternal-vertikal), terutama dengan pemerintah, perusahaan badan hukum swasta dan militer. Konflik tanah ini telah berlangsung lama, sejak pemerintahan penjajahan kolonial Belanda sampai pemerintahan saat ini. Namun faktanya terus saja terjadi “bak air mengalir” tanpa adanya rancangan skenario komprehensif (blue print) dari pengambil kebijakan di Sumatera Barat, yang ada hanyalah daftar panjang konflik tanah dan pelanggaran hak-hak masyarakat, baik pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) maupun pelanggaran hak sipil politik (sipol).
Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya keterlibatan institusi militer dalam konflik tanah maupun dalam SDA lainnya, tak terlepas dari kepentingan politik, arogansi kekuasaan dan ekonomi semata. Faktanya banyak tanah ulayat milik masyarakat secara sepihak diklaim dan dikuasai pada awalnya atas dasar tanah negara bekas erfach verponding atau atas dasar pengamanan, namun selanjutnya berubah menjadi ladang bisnis baru bagi institusi militer, seperti yang terjadi di Nagari Kapalo Hilalang Kab. Padang Pariaman.
Penguasaan tanah milik masyarakat oleh negara termasuk institusi militer, seringkali mengabaikan faktor historis dan asal usul tanah tersebut sebagai tanah ulayat masyarakat. Justeru ini pemicu utama sebenarnya terjadinya konflik tanah masyarakat vs militer di Sumatera Barat. Tanah ulayat Nagari Mungo dan Kapalo Hilalang misalnya, secara historis hak kepemilikannya jelas merupakan tanah ulayat nagari yang semasa pemerintahan kolonial Belanda disewakan atau dikontrakan kepada Pemerintah Hindia Belanda atau swasta asing dengan surat perjanjian tertulis. Kondisi serupa juga terdapat pada tanah ulayat Nagari Kapalo Hilalang Kabupaten Padang Pariaman dan tanah warga Dadok Tunggul Hitam Padang. Warga Dadok Tunggul Hitam Padang telah memiliki bukti kuat secara yuridis atas tanahnya, yakni putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Namun faktanya tanah mereka tetap dirampas paksa dengan cara-cara represif mengunakan kekuatan militer pada tanggal 12-15 Juni 2004 dengan memindahkan pilar-pilar batas tanah, selanjutnya diklaim sebagai tanah erfacht verponding No. 1648 dengan adanya sertifikat HPL tahun 1971 dan 1972 yang diperbarui dengan sertifikat HPL tahun 2007 oleh BPN Kota Padang.
Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas pemasalahan tentang: “Konflik Tanah Masyarakat Versus Militer di Sumatera Barat”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika konflik tanah masyarakat versus Militer di Sumatera Barat?
2. Apa saja kasus tanah yang terjadi antara masyarakat dengan militer di Sumatera Barat?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini selain bersifat studi kepustakaan (library research), data juga diperoleh berdasarkan hasil pengamatan langsung yang penulis lakukan (field research) terutama yang berhubungan dengan konflik tanah antara masyarakat dengan militer di Sumatera Barat.